AWAL MULA NAMA JARO
Diantara gemerisiknya daun ilalang yang membentang sepanjang sisi jalan setapak, dua pasang kaki telanjang lelaki paruh baya terus melangkah bagai tak kenal lelah menyusuri bukit dan tepian sungai .
“jek adhoh to kang gone sing diparani kui...? ‘ ( masih jauhkah kak tempat yg kita tuju –dalam bahasa jawa red ) tanya muhiman pada seorang temannya.
“ yo embuh dek,sing penting mengko lak wis pethuk uwong ngaso disek karo te`ko-te`ko, gon endi lemah ombo sing subur lan oleh digarap “ ( “ ya nggak tau ,yang penting nanti kalo dah ketemu orang ,kita istirahat dulu sambil bertanya-tanya dimana tempat tanah yang luas dan subur dan boleh di garap “ dalam bahasa jawa red ) jawab marto kuncung ,sambil terus melangkah tanpa merasa lelah melihat dari kejauhan tampak kepulan asap yang menandakan daerah itu ada kehidupan manusia.
Tak lama jalan keduanya terhenti “ kae` koyok enek gubuk ,ayo mrono “ ( itu seperti ada gubuk ,mari kita kesana ,jawa-red) bergegas keduanya mempercepat langkah hingga mendekati gubuk yang di tunjuk .
“ kulo nuwuuuuuuuuun “ ( salam khas jawa ) hampir bersamaan keduanya berucap .” kulo nuwunnnnnn........” sekali lagi salah seorang dari keduanya mengulangi salam ,belum juga ada suara sahutan dari dalam gubuk ditengah sawah yang kering bertepatan dengan musim kemarau saat itu.
Sambil sedikit terengah-engah sang empunya pondok ini mendatangi keduanya ,sambil menatap sedikit heran melihat kedatangan orang yang belum pernah dilihat sebelumnya,saat keduanya menyampaikan salam tadi pemilik gubuk ini berada ditengah pembakaran bekas tanaman padi musim panen sebulan yang lalu.
“ kulo nuwun......” keduanya mengulangi lagi mengucapkan salam,membuat orang dihadapannya semakin heran tak mengerti apa artinya kata yang diucapkan tamu dihadapannya“permisi.... pak......” Sahut sang tamu kepada pemilik gubuk sambil mengulurkan tangan untuk menjabat “kenalkan kami ,nama saya Marto kuncung dan ini kawan saya Muhiman “ kepada pemilik gubuk bernama Milir .” mari masuk kesini pak ,.........yah seperti inilah keadaannya “sang pemilik gubuk mengajak masuk ke dalam sambil mengangkat dan menggeser pintu gubuk .
Sambil meletakan bawaannya di luar gubuk ,sang tamu sambil terbungkuk-bungkuk masuk kedalam gubuk yang hanya berukuran empat persegi beratapkan daun ilalang berdidingkan kulit kayu opak yang sudah kering.” Bawa masuk sini....” milir menyuruh membawa keduanya membawa barang bawaan berupa buntalan sarung yang ujung-ujungnya saling diikatkan “ enggih...”seraya kembali mengambil buntalan yang mau diletakan diluar gubuk sambil terbungkuk-bungkuk keduanya menghormat pemilik gubuk.
“ manyaaa....ini ada tamu kita ,masakkan banyu pang nah kasian jauh bajalan” milir berseru pada istrinya yg berada dibelakang gubuk ,dengan bahasa yang sama sekali tak dimengerti oleh kedua tamunya.
Tak terasa kedua belah pihak terlibat dalam percakapan yang panjang hingga matahari mendekati bibir batu kumpai dengan mega merah dan cahayanya menjilati puncak gunung yg berdiri disebelah barat gubuk pak milir dengan segala keangkuhannya senja itu.
Nyala api lampu minyak tanah meliuk-liuk tertiup angin malam lewat celah-celah dinding kulit kayu dalam sebuah gubuk berlantaikan bambu tanpa bilik, duduk tiga lelaki paruh baya dan seorang wanita dengan garis-garis kecantikan masa lalu berselimut malam terbaring miring membelakangi ketiganya.
Ditemani hidangan teh daun kopi dan sepiring kedelai afkiran dari bibit yg siap ditanam ketiga lelaki itu bercakap.” Terima kasih ,bapak mau menerima kami disini,jika dibolehkan sementara ini kami siap membantu pekerjaan bapak disawah bercocok tanam”ujar kuncung
“ tapi kami tak bisa membayar “ jawab milir singkat ,menyela pembicaraan kuncung.
“ maaf pak,...kami tidak minta untuk dibayar,kami diberi makan untuk hidup pun itu sudah lebih dari cukup” kuncung menyahut.
“ yah ......... jika mau menerima seadanya silakan saja ,kita kerjakan bersama-sama kita membuka lahan baru, untuk menambah luasnya lahan kita, supaya hasilnya juga cukup untuk kita.” Demikian kata sepakat malam itu yang berlanjut pada pembicaraan-pembicaraan lainnya . bagaimana meraka “merantau” hingga pada tempat tersebut.
Dalam hati kedua tamu tersebut sebenarnya sangatlah merasa berdosa karena telah membuat cerita dusta terhadap tuan rumah yang begitu baik padahal mereka adalah pelarian dari kerja paksa oleh tentara jepang yg telah tersesat ke tempat tersebut.
Kokok ayam jantan dalam kandang samping gubuk bangunkan penghuni gubuk satu persatu di dahului oleh mak milir beranjak dari peraduan yg beralaskan lembaran tikar purun.
Di sebelah timur mulai nampak semburat sinar keemasan menerobos dicelah-celah daun puncak gunung diiringi cicit dan kicauan burung-burung menandai pergantian dan mulainya hari baru.
Perlahan muhiman membuka matanya saat seutas benang kemuning menerobos celah atap ilalang menerpa wajahnya.” Bangun,...... hari dah mulai pagi .....” seraya mengulurkan tangannya menarik sarung kumal yang dipakai Muhiman.
Sambil beranjak Kuncung membangunkan teman seperjuangannya itu hingga keduanya bersama-sama menuju sungai kecil yang tak jauh dari gubuk tersebut,untuk mengambil air dan cuci muka.
Sambil menunggu sarapan pagi itu keduanya berkeliling ladang sisa musim panen beberapa bulan yang lalu,” hari ini kita membantu milir membersihkan sisa-sisa batang padi kering ini,membakarnya agar bisa ditanami lagi dengan tanaman palawija , nanti kita tanyakan,saat ini milir masih punya bibit apa yang tersedia untuk ditanam”.ucap kuncung sambil menyapu sekelilingnya dengan pandangan penuh semangat.
“ pak.........!!!! “
Terkejut keduanya mendengar suara panggilan mak milir dari kejauhan.
“ pulang dulu...!”
“ nggih.....! “ sahut keduanya hampir bersamaan,bergegas keduanya melangkah menuju gubuk tempat tadi malam mereka tidur dan bercerita panjang lebar dengan milir dan mak milir.
Ternyata dalam gubuk mereka telah dinanti oleh pemilik gubuk dengan hidangan sarapan alakadarnya.
Beberapa potong singkong dan buah pisang goreng menjadi sarapan pagi itu “ maaf pak kita hanya sarapan seadanya dulu,kemarin kami tidak sempat menumbuk padi untuk dijadikan beras , silakan ya....’ mak milir mempersilakan tamunya menyantap hidangan yang di buatnya sejak pagi tadi.Walaupun baru bersua kemarin keakraban keluarga ini tampak begitu erat saat bersama-sama menyantap sarapan.
Sedikit-demi sedikit bilah-bilah parang ditangan tiga lelaki paruh baya merobohkan batang-batang jerami kering yang bercampur dengan pepohonan perdu dan rumput liar di atas hamparan tanah yang cukup luas,berhari-hari pekerjaan membersihkan lahan mereka lakukan bersama-sama tak kenal lelah,hingga pada hari ketujuh selesailah semua pekerjaan untuk mempersiapkan lahan huma itu.
“ pak apa nama daerah persawahan ini,......? suatu ketika kuncung bertanya pada milir saat mereka beristirahat disuatu siang dibawah sebatang pohon besar yang rindang sambil menunggu kiriman makanan dari mak milir.
“ tempat ini tak ada namanya,kami pun disini baru tiga kali musim tanam “ ujar milir memjawab apa yang ditanyakan oleh kuncung.” Kalau disana itu namanya daerah liang luit,disana juga hanya ada beberapa rumah orang ,dan dari jalan itu kita bisa berjalan menuju pasar “ lanjut milir menjelaskan sambil menunjuk kearah barat tepat kaki bukit batu kumpai.
“ lalu nanti jika kita panen kedelai ini kemana kita menjualnya ya pak......? kuncung lanjutkan pertanyaan pada milir.” Yah.....kita terpaksa harus membawanya kepasar dengan pikulan” jawab milir singkat menjawab yang diajukan kuncung.
Tidak sampai disitu milir juga menjelaskan kehidupan mereka berdua di tempat tersebut yang jauh dari orang lain dan semunya harus dikerjakan sendiri mulai dari bercocok tanam ,memanen,dan menjual hasilnya yang kesemuanya terdengar serba sulit.
Tak terasa mata hari telah condong kebarat dan sebentar lagi bakal kembali keperaduannya di sebelah sisi bukit batu kumpai disebelah barat terus terulang entah berapa ratus kali peristiwa serupa telah terjadi sejak kedua pelarian romusha ini berada dilokasi tersebut hingga tak terasa kedelai yang mereka tanam beberapa bulan yang lalu sudah siap dipanen.
“ Nanti selesai ini kita sama-sama bawa ke pasar untuk dijual ...” milir berkata pada kedua temannya itu,sambil terus memasukan biji kedelai kedalam karung goni.
“ enggih pak...” keduanya gembira mendengar apa yang dikatakan oleh milir tadi.sambil tersenyum marto kuncung bertanya meminta penjelasan “ besok jam berapa pak kita berangkat dari sini,biar agak pagi kita sampai di pasar....? “ maklum selama ini mereka selama tinggal dengan milir digubuk belum pernah diajak kepasar.
“ sebelum pajar kita harus sudah berangkat,agar sampai di pasar tidak kesiangan “ jelas milir pada keduanya.
Malam itu dibawah sinar bulan purnama dalam sebuah gubuk ditengah pematang sepasang mata terus menerawang jauh kemasa depan penuh sejuta harap dengan tanya yang terus bergejolak perlu satu jawaban yang pasti.dengan usaha yang sangat keras kuncung berusaha untuk memejamkan mata dan melupakan apa yang tengah dipikirkan olehnya.
“ musim yang akan datang aku harus bisa membuka lahan sawah dan menanam sendiri ,walau sambil tetap membantu dan bergiliran dengan pak milir dan kang muhiman,agar aku bisa pulang ke jawa dan menjemput keluarga yang ada untuk berusaha dan hidup disini,...tanah disini juga luas dan subur “bathin kuncung terus bergolak tak menentu,hingga lolong srigala dan suara binatang malampun tak didengarnya sama sekali.
Malam itu kuncung tak mampu untuk hilangkan angan dan cita-citanya untuk memboyong sanak saudaranya yang ada dipulau seberang,hingga suara-suara uwa-uwa ( sejenis monyet) buyarkan semua angannya dan tersadar bahwa waktu dah mendekati pajar.
“ Kang tangi ......!”( kak bangun –red)
Perlahan tangan kuncung menepuk kaki muhiman yang masih terlelap oleh dinginnya malam itu.
“ wis padang...! lho sido nyang pasar po ra...? “ ( sudah terang..lho jadi kepasar apa tidak –red ) lanjutnya,sementara yang dibangunkan hanya bangkit duduk dan mengucek-ucek matanya.
“ayo nyang kali ,raup-raup gek siap-siap...” ( mari,kesungai cuci muka trus siap-siap-red) sahut muhiman singkat ,bangkit menuju pintu gubuk dengan sedikit terhuyung masih ngantuk.
Pagi masih meremang dua titik api obor meliuk-liuk diantara rimbunan pohon perdu dan ilalang menelusuri jalan setapak, tampak dikejauhan kaki gunung batu kumpai,tiga lelaki dan seorang perempuan berjalan beriringan satu orang memanggul dua yang lain memikul sambil memegang satu obor dari bambu yang perempuan berjalan diantara pemanggul dan pemikul tangan kanan satu obor dipunggungnya menggendong wadah dari ayaman rotan ( lanjung –red )
Dengan napas yang terengah-engah empat orang ini sampai dipasar yang dituju mataharipun sudah terlihat garang diupuk timur.dan suasana pasar kecil Muara Uya saat itupun mulai nampak ramai didatangi orang dari berbagai tempat disekitar.
Selesai menjual hasil kedelai mereka,milir mendekati keduanya dan memberikan uang masing-masing kepada kedua teman-temannya ini.
“ ini untuk kalian siapa tahu kalian mau beli apa-apa ,....?” kata milir kepada keduanya.
Ternyata dipasar itu muhiman dan kuncung berpisah untuk mencari apa yang diinginkan masing-masing.
Muhiman termasuk orang yang kurang pandai dalam berbahasa Indonesia dan pendiam,terlalu canggung untuk membeli segala sesuatu dipasar dan nampak kebingungan membuat beberapa orang memperhatikan tingkahnya seraya menyapa” handak manukar apa cil...” ujar salah satu orang yg memperhatikan kebingungan muhiman.
Mendengar pertanyaan ini muhiman hanya menjawab dengan singkat “ enggih ....”
tak mengerti apa yg dikatakan orang dihadapannya.
Jawaban muhiman ini membuat orang yang bertanya semakin penasaran.
“ sampean ini dari mana,daerah mana,sepertinya sampean ini orang baru ya....” orang itu menghujani muhiman dengan pertanyaan.
“ enggih....”
Lagi-lagi jawaban yang sangat singkat keluar dari mulut muhiman.
“Asal sampean dari mana”orang itu masih terus bertanya penasaran.
Kali ini muhiman berfikir sejenak untuk menterjemahkan satu demi satu kata yang diucapkan orang.
“pak sampean ini dari mana ....? “
Kata orang itu mengulangi pertanyaan sambil tangannya memberikan isyarat.
“ njero, pak “ ( “ dalam,pak “ jawa-red ) kata muhiman sambil menujuk dari mana mereka tadi berjalan.
“ oooo....Jaroe itu mana pak “ tetap suara dengan isyarat.
“ njero sana adhoh ,”( dalam sana jauh –red ) ucap muhiman sambil menunjuk melingkar naik.
“ ooooo ......ya,ya,ya.” Orang ini mengiyakan walau semakin bingung tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh muhiman ,dia hanya mampu menyimpulkan bahwa didalam sana ada daerah yang bernama “ Jaroe”
Orang ini menceritakan kepada beberapa orang yang memperhatikan sejak tadi bahwa orang tadi berasal dari “Jaroe” dengan bahasa has logat banjar.karena untuk mengucapkan kata “njero” (dalam-red)orang-orang pasar Muara Uya khususnya orang banjar tak dapat mengucap kata itu dan hanya bisa mengucapkan kata “ Jaroe”.dan mulai saat itulah jika orang yang berasal dari daerah itu apalagi orang itu orang suku jawa mereka mengenalnya sebagai orang yang berasal dari daerah Jaroe.
Dan mulai saat itulah daerah itu dinamai Jaroe sesuai dengan perkembangan akhirnya kata “Jaroe” menjadi JARO.........................
By: Catro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar